Selasa, 20 November 2012

112 Kota Dimodali 1 Miliar Buka Ruang Terbuka Hijau


Kota Bekasi diskusi tata ruang bersama Yayat Supriyatna
Jakarta (BIB) - Pemerintah berupaya mewujudkan kota hijau di Indonesia. Rencananya sebanyak 112 kota akan diberikan modal masing-masing Rp 1 miliar untuk membuat lahan hijau.

Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Imam S. Ernawi mengatakan, ban­tuan yang dikeluarkan peme­rintah itu adalah untuk membantu suatu wilayah untuk membuat masterplan kota hijau.

“Pada prinsipnya kita mem­bantu untuk memfasilitasinya. Bagaimana membuat action plan, masterplan mewujudkan ruang terbuka hijau,” katanya usai acara Puncak Peringatan Hari Tata Ruang di Kantor Kementerian PU, Jakarta, belum lama ini.

Dikatakan, Kementerian Pe­kerjaan Umum hanya membantu sebatas teknisnya saja. Masalah lahan merupakan kewajian dae­rah untuk menyediakannya. 

Terpisah, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto me­nye­­but­kan, ada ketentuan harus dipe­nuhi suatu wilayah untuk mewu­jud­kan kota hijau. 

Salah satunya adalah dengan me­nye­diakan 30 per­­sen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari keseluruhan luas wi­la­yah. 

“Selain itu harus ada sa­ni­tasi, publik transportation yang baik, dan komunitas hijau,” ujarnya.

Dari total 112 kota yang telah sepakat untuk membangun kota hijau, sebanyak 60 kota sudah mencanangkannya sejak tahun lalu. Sedangkan 52 kota baru men­­canangkannya pada tahun ini. 

“Tahun depan kita sudah bisa mulai, dengan membangun ta­man seluas 5.000 meter persegi di setiap kota,” terangnya. 

Sementara, Kasubdit Pengen­da­lian Direktorat Perkotaan Ke­menterian PU Andi Renald Rian­dy mengatakan, perkembangan kota yang tidak terkendali telah menyebabkan berbagai perma­sa­la­han perkotaan seperti ke­ma­cetan, permukiman kumuh, ke­mis­kinan, menurunnya kualitas lingkungan perkotaan, dan luasan ruang terbuka hijau. 

Menurutnya, kota hijau me­rupakan solusi permasalahan kua­litas lingkungan perkotaan dan perubahan iklim. Sejak 2011, Ditjen Penataan Ruang Ke­men­terian PU telah mengembangkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) sebagai salah satu langkah nyata Pemerintah, Pe­merintah Provinsi, dan Pemerin­tah Kota/Kabupaten dalam me­menuhi amanat UUPR sekaligus jawaban atas tantangan peruba­han iklim di Indonesia. 

Inisiatif ini juga merupakan implementasi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kota/Ka­bupaten serta peningkatan peran aktif dan kemitraan antar para pemangku kepentingan pada ting­kat lokal.

“Rata-rata keterse­diaan ruang terbuka hijau di In­donesia berkisar antara 10 sampai 11 persen dari luas wilayah kota,” tukasnya. 

Prosentase itu masih belum me­menuhi minimal RTH 30 per­sen sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Ta­hun 2007 Tentang Penataan Ruang, di mana RTH 30 persen harus dicapai dalam 20 tahun pe­rencanaan.

Pencapaian presentase itu merupakan hal yang sulit untuk kota-kota besar dan metropolitan. 

Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah kota sudah merupakan wi­layah terbangun dengan ke­pemilikan lahan yang beragam. 

“Salah satu upaya untuk men­capai RTH 30 persen adalah de­ngan menggalakkan P2KH,” ujarnya.

Pembebasan Tanah Bertahap, Karena Anggarannya Terbatas
M. Sanusi, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta

Peraturan Daerah (Perda) Tentang Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW) memang mewajibkan pemerintah DKI Jakarta menyediakan lahan peng­hijauan umum. 

Peraturan itu juga didukung Undang-undang No­mor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang. 

“Berdasarkan beleid itu luas lahan hijau wajib terpenuhi adalah 30 persen dari total luas Kota Jakarta.” 

Lahan hijau yang sesuai peta tata ruang kota selama ini rata-ra­ta dimiliki warga. 

Sebab itu ha­rus di­bebaskan lebih dulu. Na­mun ka­re­na anggaran terbatas, pem­be­basan baru dilakukan bertahap.

Bila tanah masyarakat hendak di­ja­dikan lahan hijau tanpa pem­bebasan lebih dulu, Pemda bisa me­langgar Undang-undang No­mor 5 Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 ten­tang Pelepasan Hak Tanah. 

Da­lam peta rancangan tata kota, la­han penghijauan umum ditan­dai warna hijau dan tersebar di seluruh wilayah Jakarta. 

“Kalau lahan warga terkena penghijauan umum, maka wajib di­be­baskan karena hak ekono­misnya hilang, dijual tidak laku. 

Tapi karena pemerintah daerah tidak punya anggaran, akhirnya belum bisa dilakukan.” 

Untuk membebaskan 10 persen lahan penghijauan umum, seti­dak­nya pemerintah mem­butuh­kan sekitar Rp 1 triliun. 

Namun, tahun ini, anggaran tersedia be­lum cukup. 

Dalam APBD Jakarta tahun ini, pemerintah mengalokasikan Rp. 1,86 triliun untuk memfungsikan lingkungan hidup. 

Dana ini diba­gi untuk urusan lingkungan hidup Rp 1,73 triliun, penataan ruang Rp 106,51 miliar, dan pertanahan Rp 20,43 miliar. 

Masalah lainnya adalah mi­nim­nya pengetahuan warga Ja­kar­ta soal peruntukan lahan yang dimiliki. 

Sebagian besar pendu­duk tidak mengetahui peruntukan la­han dalam perencanaan tata ruang kota. 

“Peta dibuat pemerin­tah juga tidak sampai ke tangan masyarakat.” 

Meski distribusi informasi ren­cana tata ruang dan dokumen peta sudah bisa dilihat, dan diunduh le­wat Internet, rupanya masih su­lit diakses masyarakat. 

“Kami akui itu. Sistem Internet pemerin­tah DKI memang harus diper­baiki.”

Ketersediaan Lahan Makin Sempit Karena Ada Peralihan Fungsi
Nirwono Yoga, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti

Ruang terbuka hijau alias RTH yang dimiliki 26 kota di In­donesia belum mencapai 20 persen. 

Sementara, target luas­nya sebesar 30 persen harus di­pe­nuhi 98 kota pada 2030.

“Tapi  72 kota belum mempu­nyai progres pengembangan RTH yang diwajibkan sebesar 30 persen dari total luas wila­yah­nya. Saya prihatin atas kea­da­an ini.”

Sampai saat ini hanya 26 kota saja yang mulai ikut mengem­bangkan lahan terbuka hijau. 

Berdasarkan data komunitas hi­jau Indonesia, Kota Blitar terca­tat telah mengembangkan RTH terbesar, yaitu sebesar 17 per­sen, diikuti Makassar dan Pare-pare dengan luas RTH 14 per­sen, Probolinggo 13,2 persen, Ma­taram 12 persen, Batam dan Tanjung Pinang 8,3 persen, Ma­lang 7,8 persen, serta Sala­tiga, Semarang, dan Surakarta 4,6 persen.

Sebanyak 15 kota lainnya di­katakan belum mempunyai pengembangan yang cukup berarti. 

Lima belas kota tersebut adalah: Banda Aceh, Medan, Bukit Tinggi, Pariaman, Sa­wah­lunto, Pagar Alam, Bandar Lam­pung, Metro, Bogor, Yog­ya­karta, Kendari, Gorontalo, Bau-bau, Palu, dan Ambon. 

“Tapi sudah ada komitmen dari mereka untuk mengembangkan RTH 30 persen pada 2030 men­datang. Saya berharap 72 kota lain dapat mengikutinya.”

Ketersediaan RTH sangatlah terbatas, terutama di kota-kota be­sar seperti Jakarta. 

Hal ini menjadi kendala utama. Untuk itu, sangat diperlukan peran dan kerja sama yang dari para pim­pinan politik dan berbagai ele­men pemerintahan.

Tinggal bagaimana membuat lem­baga-lembaga seperti pe­me­rin­tah daerah (Pemda) serta Ba­dan Usaha Milik Negara (BUMN) harus lebih banyak ter­libat.

Ketersediaan lahan di Jakarta yang semakin sempit dan ter­ba­tas lantaran peralihan fungsi la­han menjadi tempat kegiatan ekonomi ketimbang sebagai RTH yang notabene sangat di­bu­tuhkan warga Jakarta.

Bakal Diawasi Ketat Agar Tak Diselewengkan
Saleh Husin, Anggota Komisi V DPR

Sekalipun DPR mendukung langkah Kementerian PU mem­buka lahan hijau, penge­lolaan  anggaran program tersebut tetap akan diawasi secara ketat agar tidak diselewengkan.

Program tersebut harus di­rancang dengan baik agar tidak hanya sekadar menghabiskan ang­garan, tapi juga bisa mem­be­rikan manfaat bagi masa de­pan. 

“Kita bisa mencontoh Singa­pura dalam membuat kotanya men­jadi hijau dan enak dipandang.”

Saat ini Singapura menjadi sa­lah satu ibukota negara  tera­tas dunia dalam mengem­bang­kan ruang terbuka hijau. 

Luas ruang terbuka hijau saat ini men­capai lebih dari 50 persen dari luas wilayahnya. 

Negara  di lepas ujung selatan Semenan­jung Ma­laya itu memiliki lebih dari 450 ta­man dan kebun pu­blik. 

“Op­timalisasi ruang ter­bu­ka hi­jau per­kotaan yang cu­kup be­rarti akan menyumbang cu­kup be­sar bagi upaya mene­kan dam­pak perubahan iklim dunia.”

Sedangkan kebijakan terkait kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota-kota besar di ta­nah air masih minim. 

Ke­ba­nyakan pembentukan kota-kota yang ada di Indonesia ini diren­ca­nakan tanpa memperhatikan  aspek-aspek lingkungan.

Semestinya proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah se­besar minimal 30 persen yang ter­diri dari 20 persen ruang ter­buka hijau publik dan 10 persen terdiri dari ruang terbuka hijau privat.

“Proporsi 30 persen meru­pa­kan ukuran minimal untuk men­jamin keseimbangan ekosistem kota, termasuk sistem hidrologi dan mikroklimatnya.”

Fungsi ekologis RTH di anta­ra­nya dapat meningkatkan kua­litas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro.

Selain itu juga memiliki fungsi sosial-eko­nomi. Di antaranya untuk mem­berikan fungsi sebagai ruang in­teraksi sosial, sarana rekreasi dan keasrian kota.

Belum Satu Kotapun Yang Menerapkannya
Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI

Tim pakar dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) me­nga­­kui belum satu kotapun di In­donesia yang mampu me­ne­rapkan 30 persen ketesediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

DNPI  berkerjasama dengan pi­hak  kementerian terkait, or­ga­nisasi pakar dan universitas ter­kemuka di tanah air, terus men­dorong upaya pemenuhan RTH di kota-kota di Indonesia.

DNPI atas perintah Presiden se­lalu mengingatkan aparat di daerah agar konsisten dan lebih proaktif dalam mewujudkan ka­wasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 

“Wajib hukumnya, bagi pa­ra Walikota, Gubernur, mung­kin juga Bupati untuk mengu­ta­makan dan memperbanyak RTH.”

Transparansi dan besaran anggaran kebijakan lingkungan yang terkait pengembangan per­kotaan juga dinilai belum mak­simal dilakukan pe­me­rin­tah. 

Masyarakat kota, sek­tor usa­ha dan bisnis sering mem­be­rikan kontribusi cukup besar da­ri pemasukan dari pajak dan restribusi lainnya bagi pen­da­pa­tan (PAD) pemerintah kota. 

“Ta­pi berapa persen yang dipe­runtukan untuk perbaikan kua­litas lingkungan, nggak pernah dipaparkan.”   [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan memberikan komentar yang tidak menghasut, memfitnah, dan menyinggung sara dan komentar menjadi tanggung jawab pemberi komentar. jika komentar lebih panjang dan memerlukan jawaban bisa ke email: bangimam.kinali@gmail.com, WA 0813-14-325-400, twitter: @BangImam, fb: Bang Imam Kinali Bekasi, ig: bangimam_berbagi