Kelangkaan daging sapi di Jakarta dan sekitarnya menjadi sorotan dan berita nasional. Kenaikan harga daging sapi sudah terjadi sejak bulan Ramadhan dan sampai menjelang akhir bulan Syawal tidak juga turun-turun, dan berkisar diseputaran Rp. 110.000 hingga Rp. 120.000.
Banyak pengamat per-sapi-an mengungkapkan kelangkaan disebabkan karena ditutupnya keran impor sapi, sehingga kebutuhan per-daging-an terutama di wilayah Jabodetabek, Banten dan Badung Raya terjadi kelangkaan, bahkan pedagang sapi di pasar memilih mogok jualan hingga 3 hari ini.
Sebenarnya kelangkaan daging sapi dipasaran oleh berbagai pengamat juga menuding data Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Bahwa kebutuhan daging sapi sebanyak 14 juta ton untuk 120 juta penduduk Indonesia sudah dapat dipenuhi, minimal aman pada level 4 bulan ke depan.
Alih-alih data itu, akhirnya membuat menjerit importir daging sapi di Indonesia, pun termasuk pedagang bakso dan pedagang nasi.
Perhitungan diatas tentu berdasarkan statistik, sekalipun dalam kenyataannya kelangkaan daging sapi dan tingginya harga daging hanya terjadi di wilayah Jabodetabek, Banten dan Bandung Raya. Sementara diluar ke-3 daerah tersebut, kemungkinan tidak ada masalah.
Soal kuota daging, impor daging, swasembada daging atau kebutuhan total daging hingga memilih angka 14.000.000 ton untuk konsumsi 120.000.000 penduduk Indonesia adalah angka statistik yang dilapangan belum tentu data ini cocok.
Sebab kelangkaan cuma terjadi di 3 wilayah yang kalau diperkirakan jumlah penduduknya mungkin baru sekitar 50 juta-an. Dan kelima puluh juta penduduk itu belum tentu rutin atau merupakan pemangsa daging sapi.
Sehingga terlihat aneh antara kelangkaan, mogok dagang, kenaikan harga, survey kebutuhan, swasembada daging serta impor daging sapi. Yang jelas data ini hanya cocok diperdebatkan di tingkat pedagang, peng-impor, pemerintah lewat Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan BPS sebagai pembuat data survey.
Tetapi bagi kita warga seperti saya misalnya tidak terlalu menjadi masalah soal naiknya harga daging sapi. Toh saya tidak ketergantungan untuk mengkonsumsi daging sapi. Kalaupun makan daging sapi hanya sesekali saja. Itupun lebih nikmat langsung membeli di rumah makan atau restoran.
Jadi ingat masa kecil saya di Kinali, Pasaman Barat - Sumatera Barat 30 tahun yang lalu. Kami yang berasal dari keluarga miskin hanya mengenal daging untuk menjadi lauk paling bantar 2 kali dalam setahun, yakni saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Jika hari raya Idul Fitri, orang tua saya bela-belain membeli daging untuk dimakan saat hari pertama lebaran usai Sholat Sunat Idul Fitri. Sementara pada hari raya Idul Adha biasanya daging didapat dari pembagian qurban dari mesjid.
Di Pasaman Barat konsumsi daging yang lebih populer bukan daging sapi lo, melainkan daging kabau (kerbau).
Makan enak atau makan dengan lauk daging di Pasaman Barat hingga saat ini tentu menjadi barang mahal dan langka. Bukan berarti memang saat ini masyarakat tidak mampu membeli daging. Tetapi, kebiasaan di kampung konsumsi daging hanya dilakukan pada hari-hari besar atau saat hajatan, pesta dan saat pergi ke pekan (hari pasar).
Kalau di hari-hari biasa, lauknya orang Pasaman Barat ya yang sudah tersedia di belakang rumah, seperti sayur singkong, bayam, kangkung, ayam, telor, ikan dan sejenisnya. Kalau makan daging, apalagi daging sapi, orang kaya sekalipun kemungkinan hanya menyediakan sekali dalam seminggu, tidak tiap hari.
Jadi kalau daging bisa naik karena ditutupnya keran impor dan belum terpenuhinya kebutuhan 14 juta daging untuk 120 juta penduduk Indonesia itu hanya data belaka.
Sampai sekarang-pun di kampung saya belum ada rumah tangga yang rutin makan daging. Paling-paling juga sekali dalam seminggu.
Jadi ... kelangkaan daging itu hanya akal-akalan peng-impor daging dan orang kota saja. Kalau orang kampung tidak ngaruh. Saya saja yang sudah tinggal 20 tahun lebih di Kota Bekasi tidak tergantung pada konsumsi daging sapi.
Ah .... mikirin daging sapi, pusing pala berby ... hehehe
Selamat pagi, selamat beraktifitas
Bang Imam atau Tengku Imam Kobul Moh. Yahya S tinggal di Kota Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan memberikan komentar yang tidak menghasut, memfitnah, dan menyinggung sara dan komentar menjadi tanggung jawab pemberi komentar. jika komentar lebih panjang dan memerlukan jawaban bisa ke email: bangimam.kinali@gmail.com, WA 0813-14-325-400, twitter: @BangImam, fb: Bang Imam Kinali Bekasi, ig: bangimam_berbagi