Kondisi Kali Bekasi Hulu. Foto : IPB |
- MENCARI SOLUSI KOTA BEKASI BEBAS BANJIR (2)
Bekasi Selatan (BIB) - Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur disebutkan sebagai kawasan strategis nasional yang memerlukan penataan ruang secara terpadu.
Penataan ruang dilakukan mulai dari perencanaan, pemanfaatan hingga pengendalian tata ruang di seluruh wilayah tersebut secara integrasi. Salah satu tujuan dari dibentuknya Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekjur adalah untuk menanggulangi banjir di daerah hilir yang diakibatkan oleh rusaknya hutan di daerah hulu.
Sebelum membahas masalah Kerjasama antar Daerah terutama antara Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dengan Kota Bekasi, perlu kita telusuri terlebih dahulu kondisi dan keadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bekasi Hulu yang terdiri dari Sub-DAS, yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi.
Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Sub-DAS Cileungsi yang memiliki luas sekitar 26.525,9 ha (67,9%) terbagi lagi dihulunya menjadi ada 4 DAS yaitu Cikeruh (1.790,9 ha), Cibadak (2.497,2 ha), Ciherang (2.071,2 ha) dan Cijanggel (3.480,6 ha). Sedangkan Cikeas sendiri memiliki luas DAS sebesar 11.352,9 ha (29,1%) dan Bekasi Hulu 1.166,2 ha. Sehingga total luas DAS Bekasi Hulu menjadi 39.045,0 ha.
Dengan demikian pengaruh atas bencana banjir di Kota Bekasi yang diakibatkan oleh banjir kiriman lebih banyak dipengaruhi oleh Kali Cikeas yang mencapai 2,3 kali dibandingkan dengan Kali Cileungsi.
Menurut penelitian IPB disandingkan dengan data Bakosurtanal, debit maksimum air Kali Bekasi terjadi pada bulan Pebruari yaitu sekitar 585,6 m3/detik dan debit terendah akan terjadi pada bulan September yaitu berkisar 47,3 m3/detik.
Hal ini bisa dimaklumi adanya banjir kiriman seperti yang terjadi pada Senin lalu, 4 Pebruari 2013 dimana ketinggian air di Kali Cileungsi pukul 20.00 Wib mencapai 600 cm, sementara di Kali Cikeas diwaktu yang sama hanya 142 cm.
Penelitian tahun 2007 oleh IPB di wilayah Bekasi Hulu terdapat sedikitnya 21 desa diluar wilayah Kota Bekasi. Di daerah tersebut bermukim penduduk mencapai 2.642.000 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 4.258 jika/km2. Jika mengacu pada RTRW Provinsi Jawa Barat, pertumbuhan penduduk di Bekasi Hulu mencapai antara 1,7-1,8% per tahun.
Di tahun 2010 penduduk di wilayah Bekasi Hulu (tanpa Kota Bekasi) mencapai 2.956.000 jiwa. Dengan pertumbuhan yang sangat tinggi tersebut perlunya penataan penggunaan lahan yang optimal agar tidak merusak DAS Bekasi Hulu yang nantinya tercapainya cita-cita Kota Bekasi Bebas Banjir 2017.
SIJAMPANG & KOMPI 887
Peresmian Posko P2C di PGP oleh Azhar Laena. Foto: Bang Imam |
Penggunaan radar untuk memantau pertumbuhan awan dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya hujan lebat di satu kawasan. Perpaduan data ini
dalam Sijampang dan kolaborasi dengan Kompi 887 membentuk sistem
peringatan dini banjir di Daerah Aliran Sungai Cikeas, Cileungsi, hingga
Kali Bekasi.
Banjir di Kali Bekasi yang merupakan pertemuan Sungai Cikeas dan Cileungsi kerap terjadi saat hujan lebat di hulu dua sungai itu. Luapan air sungai mulai dianggap sebagai bencana tahun 1990-an ketika di bantaran Kali Bekasi bermunculan perumahan.
Berulangnya banjir pada 1992 menginisiasi komunitas di Perumahan Pondok Gede Permai yang ada di hulu Kali Bekasi untuk memantau kenaikan muka air sungai. Tahun 1994 mulai dilakukan pemantauan dari hulu Cikeas-Cileungsi hingga hilir di Muara Gembong.
Komunitas pemantau banjir ini tahun 2009 menamakan diri Kompi (Komunitas Peduli Informasi) 887. Mereka menggunakan radio amatir atau HT berfrekuensi 138,87 megahertz.
Sistem peringatan dini banjir dilengkapi dengan Sistem Informasi Hujan dan Genangan Berbasis Keruangan (Sijampang).
Sistem informasi ini berbasis data pemantauan massa udara dari stasiun radar milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan data curah hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Adapun pos pengamatan Kompi 887 dari hulu hingga hilir tiga DAS ada 17 pos. Dalam sistem peringatan dini banjir, kata Imam Satrio, Koordinator Kompi 887, data muka air dari hulu Sungai Cikeas dan Cileungsi jadi patokan.
Sistem peringatan terbagi tiga tingkatan: Siaga 3 hingga Siaga 1. Bila muka air di hulu mencapai di atas 300 cm akan dikeluarkan peringatan Siaga 1, ketinggian 300 cm status Siaga 2, di bawah 200 cm Siaga 3.
Untuk peringatan dini banjir, Imam berada di Pos Utama atau Pos Pengamatan Cileungsi-Cikeas (P2CC) akan menyebarkan pesan singkat (SMS) kepada 38 ketua RW, selain ke pos pemantau lain melalui Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI).
Dari tiap pos peringatan, informasi disiarkan lewat pengeras suara di masjid dan pemberitahuan oleh petugas satpam berkeliling. Warga di kawasan itu kemudian beramai-ramai menjadi anggota RAPI.
Sistem peringatan dini banjir berbasis komunitas ini membantu warga menyelamatkan harta benda saat banjir besar tahun 2007. Banjir itu mencapai tinggi 2,5 meter dan melanda 1.564 keluarga.
Rumah warga di daerah itu 80 persen bertingkat dua sehingga mereka dapat mengamankan hartanya dan memarkir mobil di jalan yang lebih tinggi.
Terjangan banjir dapat diantisipasi karena hujan di hulu Cileungsi akan sampai ke Pos Pengamatan Cileungsi-Cikeas setelah 4 jam. Hujan di hulu Cikeas akan terdampak 1-2 jam kemudian di lokasi itu.
Dari P2CC ke bendung Kali Bekasi makan waktu 1 jam. Waktu untuk sampai ke Muara Gembong perlu tiga jam. ”Pemberitahuan kondisi muka air membuat penduduk di bantaran kali punya waktu untuk evakuasi. Petani tambak di Muara Gembong punya waktu 8 jam untuk menyelamatkan ikannya,” ujar Imam.
Pemantauan banjir oleh warga dilakukan secara intensif mulai September hingga April. Ketika terjadi peningkatan muka air, pengukuran dilakukan tiap jam. Pemberitahuan dikirimkan beberapa kali dalam sehari.
Pemantau Otomatis
Aktivitas Kompi 887 sejak tahun 2009 didukung sistem pemantauan otomatis. Selama ini pengukuran tinggi muka air menggunakan hidrometer. Alatnya berupa tiang vertikal. Di bagian tengah tiang ditandai garis-garis yang menunjukkan ketinggian.
Di pos pengamatan P2CC juga dipasang automatic water level recorder (AWLR) yang diadakan lewat kerja sama Kompi 887 dengan Nusantara Earth Observation Network (NEONet) BPPT.
Sistem ini berupa tabung logam bulat yang dipasang di tepi sungai. Di dalam tabung ada sensor yang akan mencatat ketinggian air. Data dikirimkan lewat kabel ke kotak pengontrol mikro di pos pengamatan. Selanjutnya data ditransmisikan dengan modem GSM ke server di stasiun pusat.
Sistem komputer di Stasiun Pusat di BPPT Jakarta akan menganalisis data dikombinasikan dengan pola cuaca. Hasilnya digunakan untuk memprediksi banjir jangka menengah dan panjang. ”Penggunaan sistem otomatis ini memungkinkan pemantauan 24 jam dan mengurangi human error,” kata Lena Sumargana dari NEONet BPPT.
Selain pemantauan ketinggian sungai, untuk peringatan dini banjir digunakan hasil pantauan radar Doppler C Band di Serpong yang meliputi radius 105 km dan data intensitas hujan. Ketinggian awan hujan yang dapat terpantau radar adalah 500 meter-2.000 meter di atas permukaan bumi.
Menurut Koordinator Program Sijampang Udrekh yang juga Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT, data analisis kondisi atmosfer dianalisis dan dipadukan dengan data curah hujan dalam peta spasial berbasis Google map. Informasi ditampilkan dalam situs web NEONet (www.neonet.bppt.go.id /sijampang). Sijampang juga ditampilkan dalam bentuk teks yang dapat diakses melalui Twitter dan Wordpress. (Kompas, 26 Desember 2012/ humasristek)
Banjir di Kali Bekasi yang merupakan pertemuan Sungai Cikeas dan Cileungsi kerap terjadi saat hujan lebat di hulu dua sungai itu. Luapan air sungai mulai dianggap sebagai bencana tahun 1990-an ketika di bantaran Kali Bekasi bermunculan perumahan.
Berulangnya banjir pada 1992 menginisiasi komunitas di Perumahan Pondok Gede Permai yang ada di hulu Kali Bekasi untuk memantau kenaikan muka air sungai. Tahun 1994 mulai dilakukan pemantauan dari hulu Cikeas-Cileungsi hingga hilir di Muara Gembong.
Komunitas pemantau banjir ini tahun 2009 menamakan diri Kompi (Komunitas Peduli Informasi) 887. Mereka menggunakan radio amatir atau HT berfrekuensi 138,87 megahertz.
Sistem peringatan dini banjir dilengkapi dengan Sistem Informasi Hujan dan Genangan Berbasis Keruangan (Sijampang).
Sistem informasi ini berbasis data pemantauan massa udara dari stasiun radar milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan data curah hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Adapun pos pengamatan Kompi 887 dari hulu hingga hilir tiga DAS ada 17 pos. Dalam sistem peringatan dini banjir, kata Imam Satrio, Koordinator Kompi 887, data muka air dari hulu Sungai Cikeas dan Cileungsi jadi patokan.
Sistem peringatan terbagi tiga tingkatan: Siaga 3 hingga Siaga 1. Bila muka air di hulu mencapai di atas 300 cm akan dikeluarkan peringatan Siaga 1, ketinggian 300 cm status Siaga 2, di bawah 200 cm Siaga 3.
Untuk peringatan dini banjir, Imam berada di Pos Utama atau Pos Pengamatan Cileungsi-Cikeas (P2CC) akan menyebarkan pesan singkat (SMS) kepada 38 ketua RW, selain ke pos pemantau lain melalui Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI).
Dari tiap pos peringatan, informasi disiarkan lewat pengeras suara di masjid dan pemberitahuan oleh petugas satpam berkeliling. Warga di kawasan itu kemudian beramai-ramai menjadi anggota RAPI.
Sistem peringatan dini banjir berbasis komunitas ini membantu warga menyelamatkan harta benda saat banjir besar tahun 2007. Banjir itu mencapai tinggi 2,5 meter dan melanda 1.564 keluarga.
Rumah warga di daerah itu 80 persen bertingkat dua sehingga mereka dapat mengamankan hartanya dan memarkir mobil di jalan yang lebih tinggi.
Terjangan banjir dapat diantisipasi karena hujan di hulu Cileungsi akan sampai ke Pos Pengamatan Cileungsi-Cikeas setelah 4 jam. Hujan di hulu Cikeas akan terdampak 1-2 jam kemudian di lokasi itu.
Dari P2CC ke bendung Kali Bekasi makan waktu 1 jam. Waktu untuk sampai ke Muara Gembong perlu tiga jam. ”Pemberitahuan kondisi muka air membuat penduduk di bantaran kali punya waktu untuk evakuasi. Petani tambak di Muara Gembong punya waktu 8 jam untuk menyelamatkan ikannya,” ujar Imam.
Pemantauan banjir oleh warga dilakukan secara intensif mulai September hingga April. Ketika terjadi peningkatan muka air, pengukuran dilakukan tiap jam. Pemberitahuan dikirimkan beberapa kali dalam sehari.
Pemantau Otomatis
Aktivitas Kompi 887 sejak tahun 2009 didukung sistem pemantauan otomatis. Selama ini pengukuran tinggi muka air menggunakan hidrometer. Alatnya berupa tiang vertikal. Di bagian tengah tiang ditandai garis-garis yang menunjukkan ketinggian.
Di pos pengamatan P2CC juga dipasang automatic water level recorder (AWLR) yang diadakan lewat kerja sama Kompi 887 dengan Nusantara Earth Observation Network (NEONet) BPPT.
Sistem ini berupa tabung logam bulat yang dipasang di tepi sungai. Di dalam tabung ada sensor yang akan mencatat ketinggian air. Data dikirimkan lewat kabel ke kotak pengontrol mikro di pos pengamatan. Selanjutnya data ditransmisikan dengan modem GSM ke server di stasiun pusat.
Sistem komputer di Stasiun Pusat di BPPT Jakarta akan menganalisis data dikombinasikan dengan pola cuaca. Hasilnya digunakan untuk memprediksi banjir jangka menengah dan panjang. ”Penggunaan sistem otomatis ini memungkinkan pemantauan 24 jam dan mengurangi human error,” kata Lena Sumargana dari NEONet BPPT.
Selain pemantauan ketinggian sungai, untuk peringatan dini banjir digunakan hasil pantauan radar Doppler C Band di Serpong yang meliputi radius 105 km dan data intensitas hujan. Ketinggian awan hujan yang dapat terpantau radar adalah 500 meter-2.000 meter di atas permukaan bumi.
Menurut Koordinator Program Sijampang Udrekh yang juga Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana BPPT, data analisis kondisi atmosfer dianalisis dan dipadukan dengan data curah hujan dalam peta spasial berbasis Google map. Informasi ditampilkan dalam situs web NEONet (www.neonet.bppt.go.id /sijampang). Sijampang juga ditampilkan dalam bentuk teks yang dapat diakses melalui Twitter dan Wordpress. (Kompas, 26 Desember 2012/ humasristek)
4 Kecamatan Dilwati DAS Bekasi Hulu
Pengungsi di Lotte Mart Pekayon, Bekasi. Foto: Bang Imam |
Ada 4 kecamatan yang dilalui oleh DAS Bekasi Hulu atau Kali Bekasi. Ke-4 kecamatan tersebut adalah; Kecamatan Jatiasih, Rawalumbu, Bekasi Selatan dan Bekasi Timur. Dari ke-4 kecamatan itu luasan yang dilalui oleh DAS Bekasi Hulu/Kali Bekasi mencapai 1.162,2 ha dengan jumlah penduduk sebesar 564.639 jiwa.
Di 4 kecamatan daerah yang berpotensi banjir adalah Kelurahan Jatirasa, Jatiasih (Kecamatan Jatiasih), Jakasetia, Pekayonjaya, Margajaya (Kecamatan Bekasi Selatan), Bojongrawalumbu, Bojongmenteng (Kecamatan Rawalumbu), dan Margahayu, Bekasijaya (Bekasi Timur).
Data dari Pemerintah Kota Bekasi pengungsi pada panjir tanggal 18 Januari 2013 lalu yang ada dibantaran Kali Bekasi sekitar 2.000-5.000 jiwa. Penanganan pengungsi dilihat dari karakter masyarakat justru lebih mudah diarahkan warga yang tinggal di kawasan permukiman ketimbang di perumahan.
Seperti yang terjadi banjir dimalam hari, Senin, 4 Pebruari 2013 warga yang berada di belakang Lotte Mart RW 01 sudah mengungsi sebelum air menggenang terlalu tinggi. Pemantauan saya, hingga pukul 01.00 Wib dinihari (5 Pebruari 2013) seluruh warga sudah mengungsi ke tempat yang aman. Sementara di Perumahan Pongogede Permai (PGP) dan Perumahan Kemang IFI warganya memilih menetap dan tinggal diatap-atap rumah atau rumah yang memiliki lantai 2. Sehingga di perumahan tersebut, evakuasi baru berhasil dilakukan pada esok harinya menjelang siang. Sedangkan di permukiman sekitar bantaran Kali Bekasi di Sepanjangjaya, warga sudah berbondong-bondong keluar mengikuti instruksi untuk mengungsi. Sehingga relawan tidak lagi memerlukan energi banyak untuk evakuasi, hanya tinggal menyediakan dapur umum.
Berkaca dari peristiwa diatas, Pemerintah Kota Bekasi perlu melakukan koordinasi secara terpadu baik kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur maupun Pemerintah Kabupaten Bogor. Disamping itu harus ada sikap politik yang tegas dari Walikota Bekasi, apakah warga yang berada di bantaran Kali Bekasi, terutama perumahan langganan banjir untuk direlokasi atau dipindahkan ke tempat yang aman.
Sikap politik ini juga perlu transparansi agar tidak tebang pilih. Dimana, ada perumahan elit seperti Kemang Pratama yang tentunya tidak bebas dari banjir. Perumahan ini juga harus menjadi perhatian solusi yang tepat untuk menanggulangi banjir kiriman yang setiap saat mengintai warga, utamanya pada saat musim penghujan. ***
*Tengku Imam Kobul Moh. Yahya S, Direktur Sosial dan Pendidikan LSM Sapulidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan memberikan komentar yang tidak menghasut, memfitnah, dan menyinggung sara dan komentar menjadi tanggung jawab pemberi komentar. jika komentar lebih panjang dan memerlukan jawaban bisa ke email: bangimam.kinali@gmail.com, WA 0813-14-325-400, twitter: @BangImam, fb: Bang Imam Kinali Bekasi, ig: bangimam_berbagi