LAMAN

Selasa, 24 Februari 2015

Ini Aturan Kontroversi Pakaian Seragam Honorer di Kota Bekasi

Walikota Bekasi Melakukan Diskriminasi & Kriminalisasi Terhadap Honorer

Pemerintah Kota Bekasi
Add caption

Kota Bekasi (BIB) - Pemerintah Kota Bekasi mengeluarkan Keputusan Walikota Bekasi Nomor: 800/Kep.17BKD/II/2015 tentang Pengaturan Penggunaan Pakaian Dinas Bagi Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.

Walikota Bekasi, Dr. H. Rahmat Effendi kembali mengeluarkan aturan kontroversi atau lebih tepat disebut diskriminasi dengan perlakuan pembedaan pakaian seragam terhadap pegawai honorer atau Non PNS.

Dalam aturan Keputusan Walikota Bekasi itu pembedaan dan diskriminasi seragam honorer di dasarkan atas pembinaan, untuk menunjukkan identitas kepegawaian dan menghindari terjadinya tindakan diluar batas kewenangan pegawai NON PNS, makanya mempertimbangkan perlunya mengatur penggunaan pakaian dinas bagi pegawai honorer.

Walikota Bekasi juga berkilah dengan "kriminalisasi & diskriminasi" terhadap tenaga honorer dan TKK itu berdasarkan Peraturan Walikota Bekasi Nomor 50A Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembinaan Tenaga Kontrak Kerja di Lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.


Dalam BAB II Dalam Pokok-Pokok Kepegawaian Tenaga Kontrak Kerja soal Penghasilan dan Pakaian Dinas pada Pasal 2 ayat (3) disebutkan Pakaian Dinas TKK diatur dan ditetapkan oleh Walikota.

Pembedaan terhadap pakaian seragam antara PNS dan Honorer dalam Keputusan Walikota tersebut lebih didasarkan kepada kekhawatiran terhadap pembatasan atau penyalahgunaan wewenang tenaga honorer, tenaga magang, TKK, guru honorer dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pegawai tidak tetap di Pemerintah Kota Bekasi.

Bila ini yang menjadi patokan, tentu harus diusut akar permasalahannya, mulai dari aturan soal transparansi pelayanan publik, misal soal biaya pelayanan di Puskesmas, Kelurahan, Kecamatan, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, Dinas Perhubungan dan BPPT atau SKPD yang melaksanakan pelayanan masyarakat lainnya.

Nah, dalam pelayanan masyarakat seharusnya diberi tahu secara jelas soal tarif yang dibebankan setiap item pelayanan, sehingga akan menghindari pungutan liar (pungli) atau calo serta suap. Saat ini, belum ada transparansi dari Pemerintah Kota Bekasi soal berapa tarif layanan publik yang menjadi hajat publik.

Ada juga hal yang lebih prinsip, yakni agar pegawai NON PNS tidak lagi melakukan pungli, Pemerintah Kota Bekasi harus memberikan gaji, tunjangan dan insentif serta penghargaan lainnya yang sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab yang diembannya, minimal sama dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) atau Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bekasi.

"Kalau sampai hari ini belum ada tarif resmi pelayanan dan gaji Non PNS belum memenuhi standar layak, apa iya honorer bisa bekerja profesional. Kalau caranya seperti ini, yang salah kan bukan honorer, tetapi Walikota Bekasi yang plin-plan," kata Tengku Imam Kobul Moh. Yahya S, Direktur Sosial dan Pendidikan Lembaga Swadaya Masyarakat SAPULIDI.

Selanjutnya yang harus diperbaiki oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah, melakukan pendataan serta verifikasi dan validasi secara cermat soal kualifikasi dan kompetensi honorer/TKK/magang apakah masih layak dipekerjakan atau tidak.

Kemudian menempatkan mereka sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya, serta penempatan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan Pemerintah Kota Bekasi dalam menyerap tenaga pegawai Non PNS. Penempatan tentu harus berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja yang dilakukan oleh Badan Kepegawain Daerah.

Kedepan, menurut Bang Imam, panggilan akrab pemerhati sosial ini Pemerintah Kota Bekasi tidak lagi menerima tenaga magang, honorer dan TKK atas dasar titipan, bawaan pejabat, anak, menantu, family dari oknum pejabat. Tetapi, rekruitmen lebih kepada dasar kebutuhan, analisi beban kerja, analisis jabatan yang disesuaikan dengan kualifikasi dan kompetensi calon pegawai.

"Jadi menurut saya, bukan pembedaan seragam yang menjadi masalah dalam memberantas pungli. Tetapi lebih kepada transparansi aturan biaya pelayanan, gaji yang memadai, rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi, serta menghindari KKN. Sekarang ini yang terlihat kan umumnya pegawai magang, honorer dan TKK adalah bawaan atasannya sendiri," ujar Bang Imam lagi.

Bang Imam menambahkan, dari analisis dan investigasi lapangan serta pengaduan selama ini yang masuk ke SAPULIDI, oknum pegawai magang, honorer, TKK dan guru honorer yang melakukan pungli ternyata atas restu, suruhan dan diketahui oleh atasannya, bahkan disuruh.

"Kan mereka harus setoran ke atasan. Kalau inisiatif sendiri, mana mungkin sih mereka berani malakukannya. Atasannya kan PNS. Saran saya, pembedaan seragam bukan solusi. Kalau mau, pegawai honorer yang masih dibutuhkan harus digaji sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. Minimal KHL, Ya...kira-kira Rp. 2 juta hingga Rp. 5 juta," terangnya.

"Kalau kebijakannya malah cuma pembedaan seragam itu sama saja dengan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap honorer. Siapa sih pembisik Walikota Bekasi, yang melahirkan aturan kontroversial ini," tanya Bang Imam.

Pemerhati pendidikan yang tinggal di Bekasi ini mengakui, secara pribadi kebijakan ini ditentang dan tidak disetujui olehnya. Menurutnya tidak ada korelasi antara pembedaan seragam dengan pembatasan kewenangan untuk menghindari pungli atau pelanggaran kewenangan.

(bang imam)

1 komentar:

silahkan memberikan komentar yang tidak menghasut, memfitnah, dan menyinggung sara dan komentar menjadi tanggung jawab pemberi komentar. jika komentar lebih panjang dan memerlukan jawaban bisa ke email: bangimam.kinali@gmail.com, WA 0813-14-325-400, twitter: @BangImam, fb: Bang Imam Kinali Bekasi, ig: bangimam_berbagi