Sabtu, 20 Januari 2018

Amdal Menjadi Bagian Dari Legalisasi Dunia Usaha Untuk Merusak Lingkungan

BANYAK AMDAL ABAL-ABAL

Adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) seharusnya menjadi alat untuk mempertahankan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri untuk kelangsungan prikehidupan dan mencapai kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain

Oleh : Tengku Imam Kobul Moh Yahya S


Sehingga kalau mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka yang harus dilakukan dan dipertahankan adalah melakukan upaya secara sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan sekaligus mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pemeliharanaan, pengawasan dan penegakan hukum. 

Kalau membaca keinginan Undang-Undang, tentu juga keinginan Negara ini dan kita semua agar fungsi lingkungan hidup tetap terjaga dengan baik agar kesejahteraan manusia dalam pembangunan berkalnjutan tetap lestari, ya... untuk selamanya.

UU PPLH ini juga mengisyaratkan agar perlindungan dan pengelolaan dilakukan secara terpadu dan sistematis agar dapat dicegah kerusakan dan pencemaran lingkungan sejak dini. Pencegahan dan kerusakan dilakukan dari berbagai hal, yaitu sejak perencanaan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan hingga melakukan penegakan hukum.

Nah, salah satu cara untuk melakukan pencegahan dan kerusakan lingkungan hidup sejak dini yaitu dengan mewajibkan setiap usaha atau kegiatan membuat dokumen kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan.

AMDAL merupakan salah satu instrumen dalam pengendalian pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Sehingga dalam pelaksanaan kegiatan dan usaha wajib merencanakan pengelolaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup dengan membuat dokumen Amdal.

Sehingga Pasal 22 UU 32/2009 mengisyaratkan bahwa "Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup WAJIB memiliki AMDAL".

Dokumen Amdal merupakan dasar utama dalam penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup, Artinya dasar utama pembangunan kegiatan atau usaha ditentukan dari dokumen Amdal, jika dokumen disetujui dan dinyatakan layak, maka kegiatan usaha dapat dilanjutkan untuk mengurus perizinan berikutnya.

Sayangnya, Amdal kadangkala tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Banyak dokumen Amdal yang dibuat asal-asalan yang oleh saya lebih disebut Amdal Abal-abal. Sebab, Amdal yang dibuat bukanlah untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup, melainkan melegalkan usaha merusak lingkungan dengan semaunya karena sudah memiliki dokumen Amdal.

Karena, banyak usaha dan kegiatan berdiri dan melakukan kegiatan di wilayah terlarang alias tidak sesuai dengan tata ruang sehingga dengan dasar telah memiliki dokumen amdal bisa melenggang dan berbuat semaunya.

KASUS DI BEKASI

Kota Bekasi adalah kota metropolitan sekaligus kota kommuter di daerah pinggiran Jakarta. Segala permasalahan di Ibukota DKI Jakarta juga terjadi di Kota Bekasi. Sayangnya, kota ini belum begitu tertata dengan baik, sekalipun sudah berdiri sejak 20 tahun yang lalu (1997).

Sejak 10 tahun belakangan tumbuh subur hunian mewah, seperti perumahan kelas elit dan klaster-klaster yang tentu saja dibarengi dengan pertumbuhan pusat perbelanjaan seperti mall, supermarket, pasar modern dan ruko.

Belakangan, sekitar dari tahun 2010-an tumbuh kembali hunian vertikal berbentuk apartemen dan rumah susun. Rencana pembangunan hunian vertikal seperti apartemen dan rumah susun bukan saja berdiri dipinggiran jalan protokol utama pusat kota, tetapi sudah tumbuh hingga pinggiran, bahkan di daerah permukiman yang masih tergolong kumuh.

Pertumbuhan apartemen dan rumah susun tentu tidak ditujukan bagi penduduk Kota Bekasi, melainkan ditujukan bagi commuter dan penduduk pendatang baru. Apalagi harga yang ditawarkan cukup fantastis, untuk ukuran studio saja sudah diatas harga Rp. 300 jutaan. 

Maka tidak heran, apabila pengembang melakukan pemasaran bukan ditujukan untuk tempat tinggal, melainkan investasi. Dan yang lebih memprihatinkan saat ini ternyata fungsi apartemen dan rumah susun yang seharusnya menjadi hunian telah berubah menjadi hotel, motel dan penginapan harian atau bahkan jam-jaman.

Persoalan dan sekaligus implikasi dari Kota Bekasi menjadi tujuan commuter, saat ini banyaknya terbangun hotel-hotel berbintang, dan juga bukan cuma di pusat kota. Saat ini hotel malah sudah terbangun di pinggiran kota. 

Hal lainnya, misalnya adanya industri dan perusahaan yang berdiri bukan di Kawasan Industri (KI). Sebab, di Kota Bekasi tidak ada kawasan industri, sehingga dalam melegalkan industri tersebut dalam RTRW Kota Bekasi disebutkan beberapa yang namanya Zona Industri (ZI). Saat ini ZI sudah ada di wilayah Kecamatan Bantargebang, Kecamatan Mustikajaya, Kecamatan Rawalumbu, Kecamatan Bekasi Utara dan Kecamatan Medansatria.

Banyak memang industri itu sudah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu, sehingga beberapa diantaranya tidak memenuhi kaidah tata ruang, karena berada di tengah-tengah permukiman. Akibat dari Zona Industri ini berada di tengah-tengah permukiman, sudah pasti akan menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang terjadi pada kerusakan lingkungan, maka seluruh industri dan usaha yang sudah eksisting wajib membuat dokumen Amdal berupa Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH).

Sedangkan bagi usaha dan kegiatan yang berizin dan ingin menambah atau merubah kegiatannya harus melakukan Adendum Amdal dan RKL-RPL nya. Sementara untuk kegiatan dan usaha yang masih dalam perencanaan wajib terlebih dahulu membuat dokumen Amdal dan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL) dan UKL-UPL. 

Dengan memiliki dokumen Amdal, seharusnya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan sudah dapat diupayakan sebagai bagian dari kewajiban dunia usaha dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Upaya pengendalian dan pencemaran lingkungan hidup setidaknya harus dilakukan minimal dalam tiga tahap, yakni, dimulai dari pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.

Sayangnya dalam prosesnya banyak dokumen Amdal yang dibuat asal-asalan bahkan hanya Amdal Abal-Abal yang fungsinya hanya untuk menyamarkan dan menghilangkan kecurigaan bahwa mereka sudah melakukan pengelolaan lingkungan.

Selama saya menjadi Anggota Komisi Penilai Amdal di Kota Bekasi dari tahun 2014 hingga awal 2018 ini banyak hal-hal yang sangat janggal mulai dari proses pembuatan dokumen Amdal hingga pelaporan oleh dunia usaha.

Diantara hal-hal yang janggal itu yang saya temukan selama 4 tahun terakhir diantaranya;
  1. menyebutkan bahwa dokumen merupakan milik atau titipan Walikota;
  2. dibuat secara terburu-buru, ada pembuatan dokumen Kerangka Acuan (KA) Andal ke pembahasan Amdal, RKL-RPL cuma 14 hari;
  3. tahun 2017 kemaren Amdal yang dibahas didominasi oleh satu Konsultan hingga memiliki order mencapai 80% dari dokumen yang ada;
  4. masih dalam pembahasan Amdal, izin seperti IMB dan lainnya sudah terbit terlebih dahulu oleh instansi lain;
  5. sudah terbangun lebih dari 80% tetapi dokumen Amdal baru diurus;
  6. sudah melakukan penjualan dan pemasaran, sementara dokumen Amdal belum dibahas;
  7. tidak sesuai dengan zona tata ruang;
  8. tidak ada Kawasan Industri (KI) tetapi banyak pabrik berdiri di tengah-tengah permukiman;
  9. tidak memiliki RTH yang dipersyaratkan;
  10. membangun di Garis Sempadan Sungai (GSS) bahkan termasuk bangunan pemerintah;
  11. kepedulian terhadap warga terdampak (CSR) masih kurang;
  12. kurang bahkan ada yang tidak pernah melakukan pelaporan atas kewajibannya sudah mengelola lingkungan atau belum;
  13. zona pembangunan pabrik pengolah industri limbah B3 masih abu-abu;
  14. rendahnya keikutsertaan dalam program Proper.
Berbagai persoalan diatas saya temukan selama 4 tahun terakhir. Sehingga kesimpulan saya sebaiknya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat cq Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus segera melakukan Audit Lingkungan terhadap Amdal, RKL-RPL yang ada di Kota Bekasi.

Jika tidak segera dilakukan Audit Lingkungan Hidup, maka dapat dipastikan Amdal Abal-Abal tetap menjadi instrumen kedok perusahaan untuk mengatakan bahwa mereka sudah patuh terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Yang menarik dalam pemaparan oleh narasumber pada pelaksanaan Environmental Outlook 2018 kemaren, ada 3 isu penting soal pelaksanaan pembuatan dokumen Amdal, diantaranya;
  • di Indonesia setiap tahun tidak kurang dari 40.000 Studi Lingkungan Hidup dilakukan, belum termasuk yang di pusat;
  • potensi uang suap perizinan setiap tahun di Indonesia mencapai Rp 51 triliun, termasuk proses penilaian dan pengesahan Amdal;
  • dokumen amdal dapat tersusun tanpa harus disusun oleh ahlinya, ada dokumen Amdal dan perizinan yang secara administrasi sah, tetapi sesungguhnya dokumen administrasi itu palsu. 
Inilah yang mendasari saya agar Amdal dan dokumen perizinan lainnya di Kota Bekasi perlu di Audit oleh instansi independen atau Instansi Pemerintah yang lebih tinggi, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan KLHK.

*Tengku Imam Kobul Moh Yahya S adalah Anggota Komisi Penilai Amdal Kota Bekasi dan pemerhati sosial dan lingkungan hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan memberikan komentar yang tidak menghasut, memfitnah, dan menyinggung sara dan komentar menjadi tanggung jawab pemberi komentar. jika komentar lebih panjang dan memerlukan jawaban bisa ke email: bangimam.kinali@gmail.com, WA 0813-14-325-400, twitter: @BangImam, fb: Bang Imam Kinali Bekasi, ig: bangimam_berbagi