Sabtu, 01 April 2017

Mendesak Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Kota Bekasi

*Oleh : Tengku Imam Kobul Moh Yahya S

Bang Imam menyeruput kopi di Starbucks Coffee Jababeka, Cikarang
Saya memang baru mendalami lingkungan, terutama soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Amdal. Kegiatan belajar boleh di bilang sejak tahun 2014, itupun dipaksa karena saya di dapuk menjadi salah satu Anggota Komisi Penilai Amdal (KPA) Kota Bekasi...

Bila melihat letak Kota Bekasi sangat cukup strategis untuk menjadi penyeimbang atau kota satelit di pinggiran Ibukota Negara Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Dengan lahan terbatas dan jumlah penduduk terpadat nomor 4 di Indonesia, tentu hanya sedikit yang bisa dikembangkan, apa saja ?

Melihat perkembangan 20 tahun Kota Bekasi, perkembangan yang paling menjanjikan adalah jasa, perdagangan dan hunian. Sekalipun hanya 3 ini yang terlihat potensial, tetapi disejumlah titik berkembang atau masih dipertahankan beberapa zona industri dan sentra kerajinan dan kuliner.

Melihat pola pembangunan yang ada, maka Kota Bekasi perlu Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, maka yang dimaksudkan dengan KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal's) telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Kebijakan, Rencana, dan Program.

Kebijakan, Rencana dan Program KLHS perlu dibuat untuk jangka panjang, bisa untuk 30 tahun atau 20 tahun, juga dibuat jangka menengah selama 5 tahun dan juga jangka pendek selama 1 tahun.

Sebab bila tidak dikelola dengan baik, soal lingkungan, maka dapat dipastikan masalah akan semakin parah dan tentu ujung-ujungnya menjadi bencana dikemudian hari.

Karena lingkungan itu merupakan kesatuan ruang yang tidak dapat dipisahkan antara benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, demi untuk kelangsungan prikehidupan, demi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain di sekitar kita.

Upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan harus sejalan dengan Pembangunan Berkelanjutan. Dimana, pembangunan berkelanjutan itu harus dilakukan dengan upaya sadar dan terencana yang terpadu antara aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup ke dalam strategi pembangunan yang juga ditujukan agar mendapatkan jaminan lingkungan hidup apakah berdasarkan kebutuhan keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup untuk generasi saat ini maupun demi generasi mendatang.

Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, terdapat sedikitnya 7 potensi yang akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan baik yang berasal dari darat, laut dan udara.

Sehingga dampak yang akan timbul tersebut perlu dibuatkan rencana, program dan kebijakan untuk pemanfaatan ruang dan lahan dengan KLHS.

Biasanya resiko atau dampak lingkungan hidup saat ini yang sering terjadi di sekitar kita, adalah:
  1. perubahan iklim;
  2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
  3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah banjir, longsor, kekeringan dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
  4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;
  5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
  6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat lokal (tidak mampu bersaing); serta
  7. peningkatan resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga harus mempertimbangkan permintaan masyarakat yang dituangkan dalam kebijakan, rencana dan program KLHS Kota Bekasi baik jangka panjang (20-30 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun).

Sebab, ada kalanya permintaan masyarakat, terutama untuk melindungi kearifan budaya lokal, baik soal tutur, prilaku, penghidupan dan budaya perlu dilestarikan sebagai kekayaan alam dan warisan yang tidak akan ternilai harganya.

Apalagi menurut data Sapulidi Riset Center (SRC) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sapulidi, hingga tahun 2022 mendatang, Kota Bekasi akan disesaki hunian vertikal atau apartemen yang mencapai ratusan menara.

Saya perkirakan lebih dari 132 menara dengan rata-rata setiap menara bisa menampung antara 1.000-1.500-an jiwa.

Terkait dengan hal tersebut, tentu penghuni Kota Bekasi yang merupakan urban dan komuter membutuhkan sarana perkotaan yang layak huni, aman, tentram dan menyenangkan.

Seluruh fasilitas publik kota harus sudah dipersiapkan, mulai dari ruang terbuka hijau (RTH) baik dalam bentuk taman, hutan kota hingga sarana olahraga terbuka di tengah-tengah permukiman yang mudah diakses dan gratis dimanfaatkan oleh masyarakat kota.

Membaca kondisi saat ini, lebih dari 50% Kota Bekasi merupakan kawasan efektif perkotaan dengan 90% diantaranya merupakan permukiman, baik vertikal maupun perumahan. sisanya ada sekitar 4% kawasan atau zona industri dan 3% kawasan jasa dan perdagangan.

Sisanya tergolong ruang publik terbuka, jalan dan sarana lainnya.

Dengan melihat perkembangan yang ada, pantas saja setiap tahun justru kemacetan di Kota Bekasi semakin menjadi-jadi, titik banjir bertambah, iklim tambah panas, hutan atau lahan menjadi tertutup oleh penanaman beton atau gedung tinggi serta bertambahnya penduduk miskin akibat tidak mampu bersaing.

Agar Kota Bekasi tetap nyaman dihuni, nyaman dikunjungi dan tetap lestari kearifan budaya lokal, mau tidak mau Pemerintah Kota Bekasi yang dalam hal ini Walikota Bekasi, Wakil Walikota Bekasi dan aparat terkait harus segera membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis berbasis kebijakan, rencana dan program yang dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu :
  • melakukan identifikasi dan perumusan isu pembangunan berkelanjutan;
  • melaksanakan identifikasi materi muatan kebijakan, rencana, dan program yang berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi lingkungan hidup; dan
  • menganalisis pengaruh hasil identifikasi dan perumusan perubahan iklim, peningkatan titik banjir, peningkatan kemiskinan, peningkatan alih fungsi lahan serta permintaan masyarakat dan perlindungan kearifan budaya lokal di Kota Bekasi.
Jangan sampai karena sudah menjadi tamu rutin, seperti banjir yang melanda beberapa daerah, justru dipermaklumkan dan tidak ada upaya sama sekali dalam menanggulanginya.

Agar lebih mudah membuat program, rencana dan kegiatan KLHS, maka seluruh masalah harus diatasi dari sumbernya dan menjadi polah hidup serta mengubah kebiasaan buruk masyarakat.

Contoh yang selama ini terjadi adalah masalah akut banjir di beberapa perumahan di Kecamatan Rawalumbu, Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Selatan, Kecamatan Bekasi Barat dan Kecamatan Bekasi Utara serta di Pondokgede, bahwa selain volume air yang tinggi masuk ke saluran, karena kurangnya resapan dan tampungan air hujan (run off), juga disebabkan karena seluruh jaringan drainase, gorong-gorong dan kali penerima belum terkoneksi dengan baik di Kota Bekasi.

Apalagi ditambah dengan prilaku masyarakat yang suka membuang sampah sembarangan di got/drainase, menutup drainase sehingga menimbulkan peningkatan timbunan sedimentasi yang mengakibatkan sulitnya dilakukan normalisasi atau pembersihan gorong-gorong terutama di pemukiman.

Ada juga masalah baru yang baru terdeteksi, yaitu dengan berkembangnya Kota Bekasi menjadi daerah permukiman, sehingga seluruh drainase dan kali yang melewati Kota Bekasi harus bebas hambatan.

Semisal yang melewati bawah Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Saluran Tarum Barat Kalimalang dan Rel Kereta Api, apabila saat ini diameter drainase kurang atau hanya Q50 maka dapat dipastikan air dalam kondisi hujan akan terhambat dan tersumbat.

Sehingga saya mengusulkan agar, seluruh gorong-gorong yang ada dibawah Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Saluran Tarum Barat Kalimalang dan Rel Kereta Api wajib dipastikan luas atau diameter drainase dibawahnya harus sudah diatas Q100.

Yang lebih penting lagi, karena sumber dampak dan penanganan juga terkait dengan wilayah lain seperti DKI Jakarta, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi serta beberapa merupakan masih kewenangan pusat, maka Pemerintah Kota Bekasi harus merumuskan Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang terintegrasi dengan wilayah lain dan sejalan dengan kebijakan pusat.

Kalau tidak sejalan, tentu akan percuma juga, karena Kota Bekasi berada di tengah-tengah daerah administrasi lain, dan sumber dampak ada yang dipengaruhi oleh daerah lain, seperti banjir, kemacetan dan juga kemiskinan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kota Bekasi juga sebaiknya mempertimbangkan yang cukup matang soal keberlangsungan TPST Bantargebang milik DKI Jakarta dan zona industri yang semakin berkembang disekitarnya, termasuk tumbuhnya industri pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah infeksius rumah sakit.

Bila kajian tidak dilakukan dengan baik dan segera, dapat dipastikan dampak kerusakan lingkungan di Kota Bekasi sudah menuju bencana akut yang tidak mudah diselesaikan oleh siapapun pemimpinnya....

Yuk...komitmen dong atasi banjir, atasi kemacetan, atasi kemiskinan dan lindungi kearifan budaya lokal Bekasi.

Caranya ya itu tadi buat target, program, dan rencana kegiatan jangka panjang, menengah dan pendek, serta evaluasi seluruh progresnya secara terbuka, sehingga masyarakat mengetahui perkembangan dan kelemahannya.

Ajak masyarakat berpartisipasi dan bertanggungjawab untuk ikut melestarikan lingkungan, mengatasi banjir, mengatasi kemacetan, mengatasi kemiskinan dan melindungi kearifan budaya lokal Bekasi.

^Tengku Imam Kobul Moh. Yahya S biasa dipanggil Bang Imam adalah Direktur Sosial dan Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat Sapulidi dan pemerhati lingkungan yang tinggal di Bekasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan memberikan komentar yang tidak menghasut, memfitnah, dan menyinggung sara dan komentar menjadi tanggung jawab pemberi komentar. jika komentar lebih panjang dan memerlukan jawaban bisa ke email: bangimam.kinali@gmail.com, WA 0813-14-325-400, twitter: @BangImam, fb: Bang Imam Kinali Bekasi, ig: bangimam_berbagi